Dalam UUD 1945 tidak ada yang disebut “kepastian hukum” saja. Yang tertulis di dalam UUD 1945 (konstitusi) adalah “kepastian hukum yang adil” dalam Pasal 28D ayat 1.
Jadi tugas MK menjaga Konstitusi harus juga dimaknai menjaga konstitutionalisme. Sebab a constitution without constitutionalism is nonsense (konstitusi tanpa konstitusionalisme tak ada gunanya). Jangan sampai rakyat mencari jalannya sendiri untuk meraih keadilan. Jangan sampai pula pemerintahan mendatang mengalami public distrust berkelanjutan!
Satu hal lagi yang sangat penting dalam UUD 1945 pada Pembukaan disebutkan “ Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah pada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”.
Jadi “bahagia” merupakan tujuan dan target utama kita. Namun semuanya perlu perjuangan sebab bangsa Indonesia baru diantar sampai ke “pintu gerbang”. Sebab itu kata “Bahagia” dan “ke pintu gerbang” harus ditempatkan sebagai “kata kerja” (verb), bukan “kata benda” (noun). Sebab itu untuk merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur diperlukan perjuangan. Semuanya dalam kerangka “process of becoming”. Dan itu bisa diwujudkan melalui putusan MK.
Semua yang dilakukan majelis hakim MK akan menjadi catatan sejarah. Kini tergantung para hakim MK. Mereka ingin meninggalkan legacy seperti apa dan ingin dikenang sebagai apa?. Sebagai penyelamat konstitusi dan konstitusionalisme ataukah yang menodainya?. Ini terpulang kepada mereka.
*TM. Luthfi Yazid, advokat, dosen, associate Leadership for Environment and Development (LEAD) Program, New York (1994-1996), dan alumnus School of Law University of Warwick, Inggris (British Chevening)