Dulu di Sidoarjo Jawa Timur, ketika lumpur Lapindo meluap dan membuat warga ngeri dan marah karena wilayahnya terancam, maka yang dilakukan adalah memasukkan bola bola beton ke dlm mud vulcano atau pusatnya lumpur panas. Secara teknis upaya memasukkan bola-bola beton itu tidak ada manfaat, karena masuk ke perut bumi, tapi aktivitas itu dikerjakan sebagai upaya komunikasi, agar rakyat melihat ada upaya serius yang dikerjakan. Itu yg namanya “Seeing is Believing”, dengan melihat itu rakyat tenang, percaya, negara sudah bekerja.
Dalam konteks sengketa hasil Pemilu, kalau nanti diputus MK, mereka juga akan mengakui bahwa MK telah bekerja maksimal, sebagaimana yang terlihat sampai hadirkan 4 menteri menjadi saksi. Jika masih ada yang protes dengan gerakan perlawanan demokrasi, mereka akan dianggap sebagai kelompok berisik yang tidak legowo. Kelompok yang tidak menerima kenyataan hingga bisa mengganggu persatuan dan agenda nasional. Bahkan dituding akan menghambat upaya mewujudkan Indonesia emas. Itulah cara meredam gejolak politik dengan mempengaruhi persepsi rakyat. Political reality is about perception.
Setelah panggung MK nanti selesai, kemungkinan selesai pula ruang legal untuk menyelamatkan demokrasi di negeri ini. Kenyataan yang harus diterima, faktanya sebagian besar elite politik negeri ini memang sudah bobrok. Dan Jokowi berhasil menghimpun dan mengelola kebobrokan itu menjadi kekuatan politiknya. Penegakan hukum yang ditakuti para elite yang bobrok menjadi alat politik yang efektif bagi Jokowi. Membuat orang-orang bobrok tak berdaya kecuali ikut Jokowi. Walhasil, law is a tool of political engineering. Sedang Kekuatan rakyat, kekuatan demokrasi makin “tidak berdaya”. Sudah begitu masih dianggap sebagai pihak yang mengganggu kepentingan nasional.
Sementara dengan berjalannya waktu, sebagian besar orang akan sibuk memikirkan nasibnya sendiri daripada persoalan mengurus rusaknya demokrasi. Case closed. Semua hanya jadi catatan sejarah buruk tentang demokrasi di negeri ini.