Putusan MK Soal Pilpres 2024 Menyelamatkan Bumi?

Oleh TM Luthfi Yazid

Apakah ada hubungannya menjaga UUD 1945 (konstitusi) dengan menyelamatkan bumi? Apakah Mahkamah Konstitusi (MK) dengan menjadi the guardian of the constitution berarti juga menjadi the guardian of the earth? Apa relevansinya dengan Hari Bumi Sedunia yang selalu diperingati masyarakat dunia setiap tanggal 22 April?

Pada awalnya Hari Bumi adalah ide seorang senator AS bernama Gaylord Nelson dari negara bagian Wisconsin, yang gusar dengan banyaknya pencemaran dan polusi pabrik di Amerika Serikat. Sang senator (menjabat dari tahun 1963 sampai 1981) gelisah dan terus mengkampanyekan pentingnya mengatasi polusi dan rusaknya lingkungan hidup yang pada akhirnya mengancam kehidupan bumi.

Ide dan gagasan itu ternyata bersambut, maka sejak tanggal 22 April 1970 diperingati sebagai Hari Bumi Sedunia. Masyarakat internasional menjadikan tanggal tersebut sebagai Hari Bumi Sedunia sebagai wujud berkontribusi menyelamatkan bumi.

Lantas, apa kaitannya Hari Bumi dengan MK, yang akan membacakan putusannya terkait sengketa Pilpres tahun 2024 yang diikuti oleh Paslon 01 Anies Rasyid Baswedan-Muhaimin Iskandar, Paslon 02 Prabowo Subianto- Gibran Rakabuming Raka dan Paslon 03 Ganjar Pranowo-Mahfud MD?.

Sebagaimana kita ketahui, Indonesia hanyalah bagian kecil dari dunia. Meminjam istilah Emha Ainun Nadjib (Cak Nun), “Indonesia Bagian Dari Desa Saya”. Ya betul, desa dunia! Artinya, meski kita hanya Sebagian noktah kecil di bumi namun kita harus memberikan kontribusi. Salah satunya adalah melalui MK yang disebut sebagai the guardian of the constitution, UUD 1945.

Apa maksudnya?. Dalam Pasal 33 (3) UUD 1945 disebutkan kata bumi sebagai berikut: ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Maksud dari pasal tersebut di atas menegaskan bahwa para pendiri bangsa sangat concerned, peduli dan karenanya mengamanatkan agar demi terselamatkannya bumi, maka sumber daya alam di Indonesia tidak dikeruk untuk kepentingan penguasa dan pengusaha yang greedy (serakah): para oligarki.

Hal ini sejalan dengan pemikiran seorang ekologis Garrett Hardin dalam essai-nya ‘The Tragedy of The Commons” (1968) bahwa keadilan bukan hanya untuk generasi sekarang, namun juga untuk generasi mendatang (intergenerational justice).

Pasal 33 (4) UUD 1945 menyebutkan : ”Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan… dst”. Meskipun dalam Konstitusi ada kata “efisiensi” jangan sampai kata tersebut dimanipulasi hanya untuk kepentingan ekonomi para pengusaha dan penguasa yang rakus.

Saling sengkarut dan polemik tidak bermutu antara Menteri Investasi Bahlil Lahadalia dan Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan terkait pemenuhan janji Presiden Joko Widodo untuk memenuhi janji politik kepada Ormas NU untuk memberikan konsesi pertambangan (Tempo, 21 April 2024 hal.38) menjadi bukti bahwa bumi dan kekayaan alam Indonesia dijadikan alat untuk mencapai tujuan politik elektoral semata.

Jika pengelolaan bumi dan sumber daya alam yang didasarkan pada kepentingan pengusaha an-sich yang profit-oriented tanpa memikirkan hukum keseimbangan semesta, maka rusaklah alam dan lingkungan. Bahkan dapat terjadi apa yang diprediksi oleh Michael Tobias dalam karyanya “The World War III, Population and the Biosphere at the End of the Millennium”, 1994 bahwa Perang Dunia ketiga akan dipicu karena sengketa lingkungan dan sumber daya alam.

Dalam konteks Indonesia, dengan ketukan palunya MK bisa menyelamatkan sakitnya bumi dari keserakahan penguasa dan pengusaha. Jadi yang dilakukan MK sebenarnya sangat mulia sekali. Artinya dengan menyelamatkan konstitusi berarti juga menyelamatkan bumi.

Oleh karena itu, berbicara tentang putusan MK, maka putusan tersebut haruslah progresif, kualitatif dan substantif dengan beberapa alasan.

Pertama, putusan MK yang dibuat dengan memuat “irah-irah” (kepala putusan) yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa”. Artinya, putusan MK memiliki tanggungjawab transcendental, tanggung-jawab ilahiyah. Tidak hanya memiliki pertanggungjawaban kepada manusia, kepada masyarakat, kepada bangsa dan negara. Tanggungjawabnya tidak hanya di sini, tapi juga di sana (dalam kehidupan sesudah mati).

Kedua, ada cacat prosedural dan substantif. Ada kebohongan, manipulasi dan akal-akalan dari sejak awal pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres. Mengapa? Karena peran pamannya, Anwar Usman, selaku ketua MK yang melalui putusan MK No.90 meloloskan Gibran padahal melanggar ketentuan UU Pemilu dan Peraturan KPU. Dan karena kebohongannya Anwar Usman tersebut diberhentikan oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) melalui putusan MKMK No.02.

Apakah bangsa dan negara ini akan dibangun dari kebohongan dan ketidakjujuran?. Apakah kepemimpinan nasional akan dilahirkan dari proses nista seperti itu?. Bukankah sering diungkapkan a leader is not made but born? (pemimpin itu dilahirkan dan bukan direkayasa?).

Melalui Putusan MK No 90 Tahun 2023 Gibran tak tau malu mendaftarkan sebagai Cawapres Prabowo Subianto dan Prabowo menikmati semua privilege bersama anak Presiden RI itu. Padahal, putusan No 90 tersebut bukan self-executing, artinya KPU harus merubah terlebih dahulu Peraturan KPU (PKPU No. 19 tahun 2019) tapi ini tak dilakukan KPU.

Tegasnya, KPU harus menindaklanjuti Putusan MK No. 90 tersebut sesuai Pasal 231 UU Pemilu/UU No.7 Tahun 2017 dengan merubah terlebih prasyaratnya agar Gibran memenuhi syarat formal. Tapi KPU tutup mata.

Begitupun Bawaslu, yang menurut UU Pemilu Pasal 454 (2) sifatnya harus aktif karena Bawaslu adalah “Badan Pengawas” dan bukan “Badan Penerima Laporan”. Bawaslu harusnya pro aktif. Tapi lagi-lagi Bawaslu masa bodo. Karenanya jangan heran bila banyak kampus bersuara kritis dan banyak pihak serta tokoh menyampaikan Amicus Curiae kepada MK.

Ketiga, sebab itu MK haruslah menjadi penyelamat Rule of Law demokrasi, negara hukum dan prinsip keadilan. UUD 1945 memberi amanah agar Pemilu dan Pilpres dilakukan dengan jujur dan adil (Pasal 22 E). Jika MK hanya bersembunyi dibalik angka-angka maka tak salah jika ada yang menyebut MK sebagai ‘Mahkamah Kalkulator’ atau ‘Mahkamah Keluarga’.

Tidak bisa MK hanya mengadili soal hasil (outcome), tapi juga proses. Sebab jika hanya mengadili angka-angka atau kuantitatif, maka majelis hakim MK yang terdiri dari para negarawan itu tidak diperlukan. Di sinilah MK harus memiliki paradigma baru, harus mau melakukan judicial activism dan harus memprioritaskan substantive justice ketimbang procedural justice.

Share Medsos

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Sorry, you can't copy this post